Petani Muda

Meski sektor pertanian menjadi tulang punggung ketahanan pangan Indonesia, semakin sedikit anak muda yang tertarik untuk terjun ke sawah. Di tengah gempuran era digital dan urbanisasi, profesi petani dinilai kurang menarik dan tidak menjanjikan masa depan yang cerah. Lalu, apa penyebabnya? Dan bagaimana nasib pertanian kita jika generasi muda terus menjauh?

Petani Muda
Petani Muda

Dominasi Petani Tua, Regenerasi Jalan di Tempat

Data Sensus Pertanian 2023 dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan hal yang mengkhawatirkan. Lebih dari 42% petani Indonesia kini berusia di atas 55 tahun. Sebaliknya, hanya sekitar 21,93% yang berusia antara 19–39 tahun. Ini berarti, jumlah petani muda sangat minim dan regenerasi nyaris mandek.

Jika kondisi ini terus berlanjut, Indonesia berisiko mengalami kekurangan tenaga kerja produktif di sektor pertanian. Tanpa adanya regenerasi yang kuat, bukan tidak mungkin pertanian kita akan stagnan — bahkan menghadapi krisis jangka panjang.

Kenapa Anak Muda Enggan Jadi Petani?

1. Profesi Kurang Bergengsi

Banyak anak muda menganggap bertani sebagai pekerjaan kelas dua. Dibandingkan karier di sektor digital atau kantoran, bertani masih terlihat kuno dan kurang bergengsi.

2. Penghasilan Tidak Stabil

Risiko gagal panen dan harga pasar yang fluktuatif membuat banyak orang ragu memilih bertani sebagai mata pencaharian utama. Mereka cenderung mencari pekerjaan yang lebih pasti secara finansial.

3. Akses Lahan dan Modal Terbatas

Harga tanah mahal dan minimnya dukungan pembiayaan membuat usaha tani sulit dimulai. Belum lagi program kredit ramah petani muda masih sangat terbatas.

4. Minim Teknologi dan Inovasi

Di berbagai daerah, sistem pertanian masih tradisional. Padahal, generasi muda lebih tertarik pada hal-hal modern, efisien, dan berbasis teknologi.

5. Gaya Hidup Urban Mendominasi

Urbanisasi membuat banyak anak muda memilih tinggal dan bekerja di kota. Lingkungan desa yang erat kaitannya dengan pertanian, dirasa kurang cocok dengan gaya hidup mereka yang dinamis.

Kalau Petani Muda Tak Ada, Apa Risikonya?

Jika kita terus bergantung pada petani berusia lanjut, maka:

  • Produktivitas menurun, karena tenaga kerja makin menua.
  • Ketahanan pangan terancam, akibat penurunan jumlah petani produktif.
  • Inovasi jalan di tempat, karena teknologi sulit diterapkan tanpa pelibatan generasi muda.

Solusi: Saatnya Bertani Naik Kelas

1. Modernisasi Pertanian

Teknologi seperti drone, smart farming, dan aplikasi pertanian digital bisa membuat sektor ini terlihat keren dan relevan di mata anak muda.

2. Pelatihan Inovatif

Workshop, sekolah lapang, dan edukasi berbasis media sosial dapat mengubah stigma bahwa bertani itu kuno.

3. Dukungan Finansial yang Konkret

Pemerintah dan swasta perlu membuka akses pembiayaan dan memberikan subsidi alat pertanian untuk mendorong minat generasi muda.

4. Bangun Narasi Positif

Media dan influencer berperan besar dalam menampilkan sosok petani muda yang sukses dan berdaya.

Petani Itu Profesi Masa Depan

Pertanian tidak lagi sekadar urusan cangkul dan lumpur. Di era digital, bidang ini bisa menjadi lahan usaha modern yang menjanjikan, asalkan ada dukungan ekosistem yang memadai.

Anak muda memiliki potensi besar menjadi ujung tombak transformasi sektor pangan Indonesia. Tapi potensi itu tak akan berarti apa-apa tanpa aksi nyata dari kita semua.

Would you like to share your thoughts?